SENYAWA AFLATOKSIN PADA TERNAK DAN PAKANNYA selaku pilihan yang bagus buat kalian yang pengen mencari solusi keterangan merampas. Beberapa keterangan lainnya bisa kalian dapatkan disini demi baik.
Aflatoksin selayaknya segolongan senyawa toksik (mikotoksin, toksin yng bersumber dari fungi) yng dikenal mematikan serta karsinogenik paruh kita-kita serta hewan. Spesies penghasilnya merupakan segolongan fungi (jenis kapang) dari genus Aspergillus, makin-makin A. flavus (dari sini nama “afla” diambil) serta A. parasiticus yng berasosiasi yang dengannya yang diciptakan-yang diciptakan biji-bijian berminyak ataupun berkarbohidrat tinggi. Kandungan aflatoksin didapati pada biji kacang-kacangan (kacang tanah, kedelai, pistacio, ataupun bunga matahari) , rempah-rempah (semisal ketumbar, jahe, lada, serta kunyit), serta serealia (semisal gandum, padi, sorgum, serta jagung). Aflatoksin pun bisa dijumpai pada susu yng diperoleh hewan ternak yng memakan yang diciptakan yng terinfestasi kapang yang telah di sebutkan. Obat pun bisa menyimpan kandungan aflatoksin bila terinfestasi kapang ini (wikipedia.org). Aflatoksin selayaknya nama sekelompok senyawa yng salah satunya mikotoksin, bersifat Amat toksik. Aflatoksin diproduksi makin-makin oleh jamur Aspergillus flavus serta A. parasiticus (Wrather serta Sweet, 2006), pun diperoleh oleh sejumlah jamur lain misalnya A. nomius (Kurtzman et al.,1987), A. pseudotamarii (Ito et al., 2001), A. ochraceoroseus, Aspergillus SRCC 1468, Emericella astellata, serta Emericella spesies SRCC 2520 (Cary et al.,2005). Kontaminasi aflatoksin internal bahan makanan maupun pakan ternak makin Suka terlaksana di daerah beriklim tropik serta sub tropik lantaran suhu serta kelembabannya sesuai paruh atau bisa juga dikatakan paruh pertumbuhan jamur (Lanyasunya et al., 2005). Aflatoksin mengantongi tingkat potensi bahaya yng tinggi dibandingkan yang dengannya mikotoksin lain. Pendapat dari Internasional Agency for Research on Cancer (IARC, 1988 internal Suryadi et al., 2005), aflatoksin B1 selayaknya satu dari sekian banyaknya senyawa yng mampu selaku penyebab terjadinya kanker pada kita-kita. Aflatoksin berpotensi karsinogenik, mutagenik, teratogenik, serta bersifat imunosupresif (Lanyasunya et al., 2005).
Seluruh yang diciptakan pertanian bisa menyimpan kandungan aflatoksin meskipun umumnya masih pada kadar toleransi. Kapang ini umumnya tumbuh pada penyimpanan yng tak memperhatikan faktor kelembaban (min. 7%) serta bertemperatur tinggi. Daerah tropis selayaknya tempat berkembang biak paling ideal. Aflatoksin ini mengantongi paling tak 13 varian, Terdapat empat jenis aflatoksin yng sudah diidentifikasi yakni aflatoksin B1, B2, G1 serta G2. Aflatoksin B1 diperoleh oleh kedua spesies, tatkala G1 serta G2 cuma diperoleh oleh A. parasiticus. Aflatoksin M1, serta M2 didapati pada susu sapi serta selayaknya epoksida yng selaku senyawa jarak.. Aflatoksin B1 bersifat paling toksik (Wrather serta Sweet, 2006). Metabolisme aflatoksin B1 bisa menghasilkan aflatoksin M1, sebagaimana terdeteksi pada susu sapi yng pakannya menyimpan kandungan aflatoksin B1 (Lanyasunya et al., 2005).
Sifat senyawa aflatoksin stabil, sulit terurai, tak larut internal tirta, tak rusak pada suhu panas, tahan sampai suhu jarak 237-289 oC , menjadikan sulit paruh atau bisa juga dikatakan paruh mengurainya. Yng umum dikenal ada 6 jenis aflatoksin yakni B1, B2, G1, G2, M1 serta M2 serta yng paling secara umum dikuasai serta rawan merupakan aflatoksin B1 (AFB1). Kondisi optimum paruh atau bisa juga dikatakan paruh pertumbuhan kapang serta memproduksi aflatoksin yakni : nilai water activity (Aw) > 0,7 ; kelembaban (RH) > 70% serta suhu (T)= 24 – 32,2o C. Selain itu kapang hendak berkembang biak pada kondisi lingkungan yng tak higienis, misalnya tak sekelumit tikus, serangga gudang, burung serta lain-lain, bisa juga terserang komoditas lain yng telah terserang penyakit tanaman ataupun Aspergillus. Tumbuhan yng terserang penyakit umumnya pun menyimpan kandungan aflatoksin. Jadi perkembangbiakan Aspergillus telah terlaksana era pertumbuhan komoditi di lahan petani, sampai penyimpanan di gudang.
Aflatoksin serta dampaknya terhadap hewan yakni bisa menghambat peningkatan bobot badan ternak unggas serta ruminansia, mengurangi produksi telur, menurunkan imun respon (daya kekebalan tubuh ternak), jumlah kematian ternak tinggi, memberi pengaruh absorpsi unsur mineral Ca, Cu, Fe serta P, kerusakan organ hati serta memicu residu pada yang diciptakan ternak, yng hendak rawan paruh kita-kita. Dampak terhadap kita-kita andai terpapar oleh aflatoksin secara terus menerus internal jumlah kecil bisa memicu kerusakan organ hati. Efek kronis lain-lainnya, menurunkan respon kekebalan, gampang di kenai infeksi, sirosis hati, kanker hati (Groopman Serta Kensler, 2005; Iarc, 1993). Data dari banyak sekali rumah sakit di Indonesia menunjukan ada 20% kasus kanker hati tak menunjukan kaitan yang dengannya infeksi hepatitis B maupun hepatitis C. Diduga Aflatoksin B1 memegang peran menjdai faktor pemicu mutasi P53 gen sel hati yng seterusnya memicu kanker sel hati, timbul dugaan bahwasanya kasus kanker hati itu berhubungan yang dengannya senyawa karsinogen salah satunya Aflatoksin B1 (RASYID, 2006). 1. Kontaminasi Aflatoksin B1 pada Pakan Ternak Secara umum, dilaporkan bahwasanya kontaminasi aflatoksin B1 pada pakan ternak relatif tinggi. Kadar aflatoksin B1 tertinggi didapati pada pakan konsentrat ayam, kira-kira 134,2 ppb. Di Jawa Barat, jagung di pabrik pakan ternak didapati terkontaminasi aflatoksin B1 yang dengannya kadar rata-rata 125,65 ppb. Pakan ayam, baik paruh atau bisa juga dikatakan paruh starter maupun grower, pun didapati terkontaminasi aflatoksin yang dengannya perkiraannya jarak 11,5 sampai 53 ppb. a. Kontaminasi Aflatoksin B1 pada Kacang Tanah Lokal Persentase sampel kacang tanah lokal yang dengannya kandungan aflatoksin B1 > 15 ppb secara umum didapati tertinggi pada tingkat pengecer (pasar tradisional) kecuali di Kabupaten Cianjur dilaporkan persentase tertinggi pada tingkat grosir (80 %). Pada musim hujan kandungan aflatoksin pada biji kering di tingkat grosir serta pengecer pasar tradisional mencapai makin dari 5000 ppb.
b. Kontaminasi Aflatoksin B1 pada jagung Hasil penelitian yng dilaporkan pada tahun 2004 (Rachmawati, 2004; Yanuartin, 2004), sebenarnya dari 123 sampel jagung (lokal serta import) paruh atau bisa juga dikatakan paruh bahan pakan yng dikumpulkan dari banyak sekali sumber diantaranya pabrik pakan, toko pakan, instansi Balai Pengujian Mutu Pakan, sebanyk 50 sampel menyimpan kandungan aflatoksin B1 melebihi standar mutu yng ditetapkan SNI yakni > 50 ug/kg (> 50 ppb) ataupun sebanyk 40,7%. Jagung lokal diperoleh dari Jawa Timur, Jawa Tengah (Purwokerto, Boyolali), Lampung, serta Makasar. Sebenarnya jagung dari Makasar menyimpan kandungan aflatoksin cukup tinggi perkiraannya hasil analisis dari 4 sampel menunjukkan nilai 218,0-517,0 ug/kg, jagung Jatim dari 13 sampel, 9 sampel diantaranya menyimpan kandungan aflatoksin B1 > 50 ug/kg, serta kadar tertinggi 214 ug/kg, selanjutnya jagung Lampung 3 dari 14 sampel menyimpan kandungan aflatoksin B1 melebihi SNI (>50 ug/kg) serta yng tertinggi merupakan 131ug/kg. Sedangkan jagung impor (China, Thailand serta India) biasanya menyimpan kandungan aflatoksin makin rendah dibandingkan jagung lokal, serta yng bersumber dari China paling baik kualitasnya yang dengannya kadar aflatoksin internal perkiraannya tak terdeteksi sampai 7,0 ug/kg, lantas dari India serta kualitas yng tak makin baik bersumber dari Thailand, 6 dari 8 sampel, aflatoksinnya > SNI, yang dengannya kadar perkiraannya 43 sampai 82 ug/kg.
Selanjutnya laporan hasil penelitian tahun 2008 (Tangendjaja et al., 2008), sebanyk 46,32% (163 dari 356 sampel jagung) yng dikumpulkan dari banyak sekali pabrik pakan di Indonesia menyimpan kandungan aflatoksin B1 melebihi SNI yang dengannya rata-rata 58,8 ug/kg serta kadar yng tertinggi merupakan 236 ug/kg. Jagung lokal dari Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah menyimpan kandungan aflatoksin cukup tinggi. Sedangkan andai dibandingkan jagung lokal yang dengannya jagung import (USA serta Argentina) , jagung lokal menyimpan kandungan aflatoksin 7 kali makin tinggi.
2. Efek pada hewan Aflatoksin bisa memicu penyakit liver pada hewan (makin-makin aflatoksin B1) yng ditandai yang dengannya produksi telur, susu, serta bobot tubuh yng menurun. Bagi atau bisa juga dikatakan paruh mereduksi ataupun mengeliminasi efek aflatoksin pada hewan, bisa dipakai amoniasi serta sejumlah molekul penyerap.Pada ayam petelur, babi, sapi, tikus, serta mencit, toksin fumonisin sulit siserap hendak tetapi penyebarannya Amat cepat serta didapati bisa tertimbun di hati serta ginjal hewan sampai-sampai memicu kerusakan oksidatif. Senyawa ochratoxin A bersifat karsinogenik, mutagenik, teratogenik, serta mampu memicu gejala imunosupresif pada banyak sekali hewan.Pada ternak babi, senyawa zearalenone bisa memicu kelainan reproduksi yng disebut vulvovaginitis. Ternak yng mengkonsumsi pakan yng menyimpan kandungan A. flavus internal jangka waktu yng lama dikhawatirkan asupan aflatoksin hendak terakumulasi internal tubuh, mengingat zat ini sulit didegradasi, menjadikan bisa memicu gangguan kebugaran atau kesehatan yng bersifat kronis. Pendapat dari Etzel (2005), penderita hepatitis B mengantongi resiko makin tinggi menderita kanker hepatoseluler andaikan makanannya menyimpan kandungan aflatoksin B1. Terdapat 18 jenis racun aflatoksin, empat yng paling kuat daya racunnya merupakan aflatoksin B1, G1, B2, serta G2. Tahun 1988, International Agency for Research on Cancer menyatakan bahwasanya aflatoksin B1 bersifat karsinogen (memicu kanker) pada kita-kita. Terdapat dua jenis efek toksisitas aflatoksin: akut serta kronis. Toksisitas akut terlaksana tak lama sesudah mengonsumsi bahan makanan yng terkontaminasi racun yang dengannya dosis relatif besar serta yng terserang merupakan hati, pankreas, serta ginjal. Pada efek kronis, aflatoksin memicu timbulnya kanker hati (hepatic carcinoma). Sumber: Cary, J.W., M.A. Klich, and S.B. Beltz. 2005. Characterization of aflatoxin- producing fungi outside of Aspergillus section Flavi. Mycologia 97 (2):425-432 Etzel, R.A. 2005. Mycotoxins. Linking Evidence and Experience. http://www.mold-survivor.com/jamamycotoxins.html http://bbalitvet.litbang.pertanian.go.id/eng/index.php/component/content/article/37-headlines/285-cemaran-aflatoksin-pada-bahan-pakan-serta-teknologi-deteksinya Kurtzman, C.P., B.W. Horn, and C.W. Hesseltine. 1987. Aspergillus nomius, a new aflatoxin-producing species related to Aspergillus flavus and Aspergillus tamarii. Antonie van Leeuwenhoek 53 (3):147-158 Lanyasunya, T.P., L.W. Wamae, H.H. Musa, O. Olowofeso, and I.K. Lokwaleput. 2005. The risk of mycotoxins contamination of dairy feed and milk on smallholder dairy farms in Kenya. Pakistan Journal of Nutrition 4 (3): 162-169 Rasyid A. 2006. Temuan ultrasonografi kanker hati hepato selular (hepatoma). M Ked Nus. 39(2):100-103 Suryadi, H., K. Maryati, serta Y. Andi. 2005. Analisis Kuantitatif Aflatoksin internal Bumbu Pecel secara KLT-Densitometri. www.ns.ui.ac.id/seminar 2005/Data/SPF-2003.pdf Wrather, J.A. and L.E. Sweet. 2006. Aflatoxin in Corn. Jefferson City: Delta Research Center. Missouri Agricultural Experiment Station. MU College of Agriculture, Food and Natural Resource.
Aflatoksin selayaknya segolongan senyawa toksik (mikotoksin, toksin yng bersumber dari fungi) yng dikenal mematikan serta karsinogenik paruh kita-kita serta hewan. Spesies penghasilnya merupakan segolongan fungi (jenis kapang) dari genus Aspergillus, makin-makin A. flavus (dari sini nama “afla” diambil) serta A. parasiticus yng berasosiasi yang dengannya yang diciptakan-yang diciptakan biji-bijian berminyak ataupun berkarbohidrat tinggi. Kandungan aflatoksin didapati pada biji kacang-kacangan (kacang tanah, kedelai, pistacio, ataupun bunga matahari) , rempah-rempah (semisal ketumbar, jahe, lada, serta kunyit), serta serealia (semisal gandum, padi, sorgum, serta jagung). Aflatoksin pun bisa dijumpai pada susu yng diperoleh hewan ternak yng memakan yang diciptakan yng terinfestasi kapang yang telah di sebutkan. Obat pun bisa menyimpan kandungan aflatoksin bila terinfestasi kapang ini (wikipedia.org). Aflatoksin selayaknya nama sekelompok senyawa yng salah satunya mikotoksin, bersifat Amat toksik. Aflatoksin diproduksi makin-makin oleh jamur Aspergillus flavus serta A. parasiticus (Wrather serta Sweet, 2006), pun diperoleh oleh sejumlah jamur lain misalnya A. nomius (Kurtzman et al.,1987), A. pseudotamarii (Ito et al., 2001), A. ochraceoroseus, Aspergillus SRCC 1468, Emericella astellata, serta Emericella spesies SRCC 2520 (Cary et al.,2005). Kontaminasi aflatoksin internal bahan makanan maupun pakan ternak makin Suka terlaksana di daerah beriklim tropik serta sub tropik lantaran suhu serta kelembabannya sesuai paruh atau bisa juga dikatakan paruh pertumbuhan jamur (Lanyasunya et al., 2005). Aflatoksin mengantongi tingkat potensi bahaya yng tinggi dibandingkan yang dengannya mikotoksin lain. Pendapat dari Internasional Agency for Research on Cancer (IARC, 1988 internal Suryadi et al., 2005), aflatoksin B1 selayaknya satu dari sekian banyaknya senyawa yng mampu selaku penyebab terjadinya kanker pada kita-kita. Aflatoksin berpotensi karsinogenik, mutagenik, teratogenik, serta bersifat imunosupresif (Lanyasunya et al., 2005).
Seluruh yang diciptakan pertanian bisa menyimpan kandungan aflatoksin meskipun umumnya masih pada kadar toleransi. Kapang ini umumnya tumbuh pada penyimpanan yng tak memperhatikan faktor kelembaban (min. 7%) serta bertemperatur tinggi. Daerah tropis selayaknya tempat berkembang biak paling ideal. Aflatoksin ini mengantongi paling tak 13 varian, Terdapat empat jenis aflatoksin yng sudah diidentifikasi yakni aflatoksin B1, B2, G1 serta G2. Aflatoksin B1 diperoleh oleh kedua spesies, tatkala G1 serta G2 cuma diperoleh oleh A. parasiticus. Aflatoksin M1, serta M2 didapati pada susu sapi serta selayaknya epoksida yng selaku senyawa jarak.. Aflatoksin B1 bersifat paling toksik (Wrather serta Sweet, 2006). Metabolisme aflatoksin B1 bisa menghasilkan aflatoksin M1, sebagaimana terdeteksi pada susu sapi yng pakannya menyimpan kandungan aflatoksin B1 (Lanyasunya et al., 2005).
Sifat senyawa aflatoksin stabil, sulit terurai, tak larut internal tirta, tak rusak pada suhu panas, tahan sampai suhu jarak 237-289 oC , menjadikan sulit paruh atau bisa juga dikatakan paruh mengurainya. Yng umum dikenal ada 6 jenis aflatoksin yakni B1, B2, G1, G2, M1 serta M2 serta yng paling secara umum dikuasai serta rawan merupakan aflatoksin B1 (AFB1). Kondisi optimum paruh atau bisa juga dikatakan paruh pertumbuhan kapang serta memproduksi aflatoksin yakni : nilai water activity (Aw) > 0,7 ; kelembaban (RH) > 70% serta suhu (T)= 24 – 32,2o C. Selain itu kapang hendak berkembang biak pada kondisi lingkungan yng tak higienis, misalnya tak sekelumit tikus, serangga gudang, burung serta lain-lain, bisa juga terserang komoditas lain yng telah terserang penyakit tanaman ataupun Aspergillus. Tumbuhan yng terserang penyakit umumnya pun menyimpan kandungan aflatoksin. Jadi perkembangbiakan Aspergillus telah terlaksana era pertumbuhan komoditi di lahan petani, sampai penyimpanan di gudang.
Aflatoksin serta dampaknya terhadap hewan yakni bisa menghambat peningkatan bobot badan ternak unggas serta ruminansia, mengurangi produksi telur, menurunkan imun respon (daya kekebalan tubuh ternak), jumlah kematian ternak tinggi, memberi pengaruh absorpsi unsur mineral Ca, Cu, Fe serta P, kerusakan organ hati serta memicu residu pada yang diciptakan ternak, yng hendak rawan paruh kita-kita. Dampak terhadap kita-kita andai terpapar oleh aflatoksin secara terus menerus internal jumlah kecil bisa memicu kerusakan organ hati. Efek kronis lain-lainnya, menurunkan respon kekebalan, gampang di kenai infeksi, sirosis hati, kanker hati (Groopman Serta Kensler, 2005; Iarc, 1993). Data dari banyak sekali rumah sakit di Indonesia menunjukan ada 20% kasus kanker hati tak menunjukan kaitan yang dengannya infeksi hepatitis B maupun hepatitis C. Diduga Aflatoksin B1 memegang peran menjdai faktor pemicu mutasi P53 gen sel hati yng seterusnya memicu kanker sel hati, timbul dugaan bahwasanya kasus kanker hati itu berhubungan yang dengannya senyawa karsinogen salah satunya Aflatoksin B1 (RASYID, 2006). 1. Kontaminasi Aflatoksin B1 pada Pakan Ternak Secara umum, dilaporkan bahwasanya kontaminasi aflatoksin B1 pada pakan ternak relatif tinggi. Kadar aflatoksin B1 tertinggi didapati pada pakan konsentrat ayam, kira-kira 134,2 ppb. Di Jawa Barat, jagung di pabrik pakan ternak didapati terkontaminasi aflatoksin B1 yang dengannya kadar rata-rata 125,65 ppb. Pakan ayam, baik paruh atau bisa juga dikatakan paruh starter maupun grower, pun didapati terkontaminasi aflatoksin yang dengannya perkiraannya jarak 11,5 sampai 53 ppb. a. Kontaminasi Aflatoksin B1 pada Kacang Tanah Lokal Persentase sampel kacang tanah lokal yang dengannya kandungan aflatoksin B1 > 15 ppb secara umum didapati tertinggi pada tingkat pengecer (pasar tradisional) kecuali di Kabupaten Cianjur dilaporkan persentase tertinggi pada tingkat grosir (80 %). Pada musim hujan kandungan aflatoksin pada biji kering di tingkat grosir serta pengecer pasar tradisional mencapai makin dari 5000 ppb.
b. Kontaminasi Aflatoksin B1 pada jagung Hasil penelitian yng dilaporkan pada tahun 2004 (Rachmawati, 2004; Yanuartin, 2004), sebenarnya dari 123 sampel jagung (lokal serta import) paruh atau bisa juga dikatakan paruh bahan pakan yng dikumpulkan dari banyak sekali sumber diantaranya pabrik pakan, toko pakan, instansi Balai Pengujian Mutu Pakan, sebanyk 50 sampel menyimpan kandungan aflatoksin B1 melebihi standar mutu yng ditetapkan SNI yakni > 50 ug/kg (> 50 ppb) ataupun sebanyk 40,7%. Jagung lokal diperoleh dari Jawa Timur, Jawa Tengah (Purwokerto, Boyolali), Lampung, serta Makasar. Sebenarnya jagung dari Makasar menyimpan kandungan aflatoksin cukup tinggi perkiraannya hasil analisis dari 4 sampel menunjukkan nilai 218,0-517,0 ug/kg, jagung Jatim dari 13 sampel, 9 sampel diantaranya menyimpan kandungan aflatoksin B1 > 50 ug/kg, serta kadar tertinggi 214 ug/kg, selanjutnya jagung Lampung 3 dari 14 sampel menyimpan kandungan aflatoksin B1 melebihi SNI (>50 ug/kg) serta yng tertinggi merupakan 131ug/kg. Sedangkan jagung impor (China, Thailand serta India) biasanya menyimpan kandungan aflatoksin makin rendah dibandingkan jagung lokal, serta yng bersumber dari China paling baik kualitasnya yang dengannya kadar aflatoksin internal perkiraannya tak terdeteksi sampai 7,0 ug/kg, lantas dari India serta kualitas yng tak makin baik bersumber dari Thailand, 6 dari 8 sampel, aflatoksinnya > SNI, yang dengannya kadar perkiraannya 43 sampai 82 ug/kg.
Selanjutnya laporan hasil penelitian tahun 2008 (Tangendjaja et al., 2008), sebanyk 46,32% (163 dari 356 sampel jagung) yng dikumpulkan dari banyak sekali pabrik pakan di Indonesia menyimpan kandungan aflatoksin B1 melebihi SNI yang dengannya rata-rata 58,8 ug/kg serta kadar yng tertinggi merupakan 236 ug/kg. Jagung lokal dari Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah menyimpan kandungan aflatoksin cukup tinggi. Sedangkan andai dibandingkan jagung lokal yang dengannya jagung import (USA serta Argentina) , jagung lokal menyimpan kandungan aflatoksin 7 kali makin tinggi.
2. Efek pada hewan Aflatoksin bisa memicu penyakit liver pada hewan (makin-makin aflatoksin B1) yng ditandai yang dengannya produksi telur, susu, serta bobot tubuh yng menurun. Bagi atau bisa juga dikatakan paruh mereduksi ataupun mengeliminasi efek aflatoksin pada hewan, bisa dipakai amoniasi serta sejumlah molekul penyerap.Pada ayam petelur, babi, sapi, tikus, serta mencit, toksin fumonisin sulit siserap hendak tetapi penyebarannya Amat cepat serta didapati bisa tertimbun di hati serta ginjal hewan sampai-sampai memicu kerusakan oksidatif. Senyawa ochratoxin A bersifat karsinogenik, mutagenik, teratogenik, serta mampu memicu gejala imunosupresif pada banyak sekali hewan.Pada ternak babi, senyawa zearalenone bisa memicu kelainan reproduksi yng disebut vulvovaginitis. Ternak yng mengkonsumsi pakan yng menyimpan kandungan A. flavus internal jangka waktu yng lama dikhawatirkan asupan aflatoksin hendak terakumulasi internal tubuh, mengingat zat ini sulit didegradasi, menjadikan bisa memicu gangguan kebugaran atau kesehatan yng bersifat kronis. Pendapat dari Etzel (2005), penderita hepatitis B mengantongi resiko makin tinggi menderita kanker hepatoseluler andaikan makanannya menyimpan kandungan aflatoksin B1. Terdapat 18 jenis racun aflatoksin, empat yng paling kuat daya racunnya merupakan aflatoksin B1, G1, B2, serta G2. Tahun 1988, International Agency for Research on Cancer menyatakan bahwasanya aflatoksin B1 bersifat karsinogen (memicu kanker) pada kita-kita. Terdapat dua jenis efek toksisitas aflatoksin: akut serta kronis. Toksisitas akut terlaksana tak lama sesudah mengonsumsi bahan makanan yng terkontaminasi racun yang dengannya dosis relatif besar serta yng terserang merupakan hati, pankreas, serta ginjal. Pada efek kronis, aflatoksin memicu timbulnya kanker hati (hepatic carcinoma). Sumber: Cary, J.W., M.A. Klich, and S.B. Beltz. 2005. Characterization of aflatoxin- producing fungi outside of Aspergillus section Flavi. Mycologia 97 (2):425-432 Etzel, R.A. 2005. Mycotoxins. Linking Evidence and Experience. http://www.mold-survivor.com/jamamycotoxins.html http://bbalitvet.litbang.pertanian.go.id/eng/index.php/component/content/article/37-headlines/285-cemaran-aflatoksin-pada-bahan-pakan-serta-teknologi-deteksinya Kurtzman, C.P., B.W. Horn, and C.W. Hesseltine. 1987. Aspergillus nomius, a new aflatoxin-producing species related to Aspergillus flavus and Aspergillus tamarii. Antonie van Leeuwenhoek 53 (3):147-158 Lanyasunya, T.P., L.W. Wamae, H.H. Musa, O. Olowofeso, and I.K. Lokwaleput. 2005. The risk of mycotoxins contamination of dairy feed and milk on smallholder dairy farms in Kenya. Pakistan Journal of Nutrition 4 (3): 162-169 Rasyid A. 2006. Temuan ultrasonografi kanker hati hepato selular (hepatoma). M Ked Nus. 39(2):100-103 Suryadi, H., K. Maryati, serta Y. Andi. 2005. Analisis Kuantitatif Aflatoksin internal Bumbu Pecel secara KLT-Densitometri. www.ns.ui.ac.id/seminar 2005/Data/SPF-2003.pdf Wrather, J.A. and L.E. Sweet. 2006. Aflatoxin in Corn. Jefferson City: Delta Research Center. Missouri Agricultural Experiment Station. MU College of Agriculture, Food and Natural Resource.